Notification

×
Copyright © Best Viral Premium Blogger Templates

Iklan

"Melirik PAD Sektor Pariwisata Mandailing Natal"Oleh: Askolani NasutionAkdemisi dan Tokoh Penggiat Seni Dan Kebudayaan Madina Tahun 2024.

Kamis, 17 Juli 2025, 12.33 WIB Last Updated 2025-07-17T05:35:11Z










Madina | jurnalpost.Net

Tahun 2024, Bali menyumbang 107 trilyun untuk pendapatan nasional dari sektor pariwisata. Itu setara dengan 44 persen. Urutan kedua setelah migas. Bayangkan, saat kita masih mengais-ngais APBD 1,7 trilyun, Bali menyumbang 63 kali lipat dari kita.

Kabupaten Sleman di DIY, PAD mereka sebesar 364,96 Milyar justru dari sektor pariwisata. Salah satu ikon pariwisata Sleman adalah candi Prambanan dan agrowisata Bumi Merapi.

Candi Perambanan hanya satu ikon heritage arkeologi. 
Di Mandailing Natal banyak potensi heritage itu. Mulai dari candi, Sumur Multatuli, rumahnya, kantornya, sampai pantainya di Sundutan Tigo. Ada juga puluhan benteng, meriam Rafles, dll.

Museum Multatuli di Lebak isinya hanya buku Maxhavelar terbitan Perancis, sepotong ubin, dan suratnya kepada Raja Willem III. Itu yang sisa dari hidupnya. 

Kita? Apalah ubin, rumahnya masih ada di Natal. Pantai tempat dia sering bertemu kekasihnya juga masih ada di Sundutan Tigo. Cantik lagi pantainya. Jangan jual pantainya, jual sejarahnya. Itu yang membuat orang datang dari luar negeri. Jangan cuma orang berak di bawah jembatan Simangambat yang difoto bule karena dianggap eksotis.

Berapa sunbangsih sektor pariwisata atas PAD Mandailing Natal? Tidak ada. Padahal Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Mandailing Natal sudah ditetapkan tahun 2023 lalu. 

Mengapa Bali dan Sleman mampu sedahsyat itu?

Bali hebat bukan karena indah pantainya. Banyak yang lebih indah dari Bali. Daya tarik Bali juatru karena kemasan budayanya. 

Sama dengan Yogyakarta. Apalah kalau cuma pantai Parang Tritis? Di Mandailing Natal banyak pantai yang tak kalah eksotisnya. Yogya punya keraton, punya Maliboro sebagai tempat lesehan. Itu.

Masalah kita selama ini, kita hanya mendandani objek wisata tanpa kemasan budaya. Konsep pariwisata kita hanya indah dipandang mata. Orang datang, selfi, selesai. Apalagi kalau kita palak dengan biaya parkir yang mahal, jajanan mahal yang membuat orang kapok datang kedua kali, dan corengan privasi yang membuat orang jengah. Kita terlalu kepo dalam segala hal.

Pengembangan pariwisata juga mesti sadar nilai-nilai kosmo. Ada ruang-ruang yang mesti kita korbankan, jaminan keamanan, jaminan bebas dari gangguan sosial, jaminan setiap orang dapat mengekspresikan keyakinan dan gaya hidupnya. Regulasi untuk itu bisa diatur agar minimalisir danpaknya. Itu gunanya orang-orang pintar yang duduk di gedung DPRD.

Tahun 2012, ketika saya ke Batam, objek wisata di sana malah unik. Ada kebun rumput malu. Cuma sirput. Bule-nya tertawa, saat mereka menyentuh rumput malu, daunnya lemas. Bahagia mereka. Yang beginian yang dijual.

Tapi paling penting karena mereka menerapkan Tax Holiday untuk sektor pariwisata. Kalau ada investasi pihak ketiga, bebaskan mereka pajak selama lima tahun. Matang dulu usahanya, baru bebani pajak. Jangan belum apa-apa sudah minta setoran. 

Selain itu, mereka juga dijamin tidak ada gangguan sosial. Lha kita, malah LSM, pers, dan para bandit yang terus merecoki investasi orang. Siapa yang mau invest di sini kalau caranya begitu? Ujung-ujungnya pemda kita salahkan tidak becus membuka lapangan kerja. Padahal iklim investasinya yang tidak sehat. Karena semua ingin dibelanjai, para bandit ingin gaji bulanan dari badan usaha orang, layaknya PNS.

Selain itu, model pariwisata kita masih kemasan visual saja, tanpa bungkus budaya. Jadi yang datang juga ibu-ibu kampung yang isi dompetnya 10 ribu. Pasar pariwisata kita masih begitu. Namanya wisatawan super lokal, siapa juga yang peduli kemasan budaya, ya kan?

Tapi coba kau bidik wisatawan manca negara. Mereka tidak butuh es boba. Mereka maunya saagun, itak poul-poul, rabar, atau buah-buah hutan yang khas. Tapi dikemas dengan mahal. Pastikan simpel, mudah dimasukkan ke tas di bandara, tidak mudah penyok, tidak mudah basi, higienis, dan estetis. 

Sediakan packing yang berkelas. Jangan seperti penjual dodol salak di sana. Harga dodol tidak termasuk kantong plastiknya. Itu cerita teman, dan dia kapok ke sana. Karena dibiarkan membawa belanjaan tanpa kantongan, hanya karena menolak membayar kantongan.

Konsep wisata sekarang malah eksperience. Wisatawan yang datang kasih baju lokal untuk dia pakai, ajak dia tanam buah, petik buah, masak kuliner lokal, dan pengalaman lokal lainnya.

Mandailing Natal, dengan tiga budaya penting (Mandailing, Pesisir, dan Ulu), sepatutnya menjadi daya tarik budaya yang luar biasa. Kemas visual objek wisatanya, lalu bungkus dengan budaya. 

Bungkus budaya itu bisa dari arsitektur, busana, kuliner, permainan tradisional, kekayaan geografis, mode interaksi, hingga seni pertunjukan (tari, musik, dll.) Bahkan olahraga dan teknologi tradisional kita juga ada.

Bukan panggung organ tunggal dibangun dengan lagu dangdut yang menonjolkan pantat. Lo pikir bule senorak kita? 

Musik dengan ornamen tradisional mestinya, sekalipun mengiringi lagu-lagu dari Frank Sinatra,  Barbra Streisand, Bob Marley, Beatles, dll. 

Biar mereka lihat,  biola bukan hanya mengiringi musik Bethoven dan Mozart di gedung opera. Tapi juga pengiring "dendag" Ulu Muara Sipongi atau lagu-lagu pesisir Pantai Barat. Atau tulila pengiring Sitogol dan Ungut-ungut Mandailing.

Untuk wisata hutan tropis, Mandailing punya banyak spot. Mulai kawasan Gunung Sorik Marapi, Batang Natal, dst. Flora dan faunanya tiada tanding. 

Ada flora yang di dunia ini hanya ditemukan di Mandailing Natal. Itu jenis Pacar Air. Ada jenis ampibi juga. Ada burung yang seratus tahun terakhir dinyatakan punah, lalu ditemukan lagi di Mandailing Natal.  Itu burung Tokhtor Sumatera. Atau, berani tidak pemda bikin kebun raya ala Bogor di bawah BUMD, misalnya.

Maksud saya begini. Sudah waktunya kita melirik sektor pariwisata sebagai sumber PAD penting. Apalah yang kita dapat selama ini kalau hanya PAD dari sektor pasar, retribusi, galian C, dan industri? Masa juga kita hanya mengandalkan bagi hasil keuangan pusat? Masa cuma DAU dan DAK saja? Kapan kita lebih kreatif?

Selain itu, hanya industri pariwisata yang paling berdampak langsung dengan ekonomi kerakyatan. Mulai dari busana, makanan, hunian, kerajinan tangan, seniman, transportasi, jasa, dan ragaman pekerjaan baru. Semua akan tumbuh sebagai satu efek keniscayaan industri pariwisata. 

Kalau anggaran daerah tidak memadai untuk membangun objek wisata, serahkan ke pihak ketiga. Biarlah dalam tiga-lima tahun pemda tak menarik pajak dari objek wisata. Kalau modelnya Tax Holiday. Tapi begitu berdiri, ia akan langsung berkontribusi kepada pendapatan dan lapangan kerja masyarakat. Itu paling penting.

Kita punya semua ragaman wisata. Wisata pantai, hutan tropis, mangrove, rawa, sejarah, agrowisata, sampai wisata rohani. 

Tambahannya, mestinya ada juga even internasional yang rutin tanggal dan bulannya. Semacam Festival Danau Toba, Festival Buah di Berastagi, dst. Ada banyak pilihan yang bisa kita lakukan. Misalnya Festival Perahu di Rodang Tinapor, atau festival seni tradisi yang lengkap. Sebutlah namanya Mandailing Art Festival, atau apa saja.

Banyak yang bisa dikemas di sini karena keunikannya. Bukan wisata global. Kalau itu ada di mana-mana.   (Zakaria Siregar)
Komentar

Tampilkan

  • "Melirik PAD Sektor Pariwisata Mandailing Natal"Oleh: Askolani NasutionAkdemisi dan Tokoh Penggiat Seni Dan Kebudayaan Madina Tahun 2024.
  • 0

Terkini